Dunia musik dan konten digital kembali dihebohkan dengan kabar tak biasa: suara burung pun kini bisa dikenakan royalti. Isu ini viral setelah sejumlah kreator konten mengaku menerima klaim hak cipta usai menggunakan suara kicauan burung dalam video mereka. Benarkah suara burung bisa masuk kategori karya yang dilindungi hukum? Atau ini hanya kesalahpahaman belaka?
Seiring berkembangnya industri kreatif digital, perbincangan soal hak cipta, lisensi, hingga royalti memang makin hangat. Jika dulunya royalti hanya melekat pada lagu dan musik, kini cakupannya makin meluas – bahkan menyentuh elemen yang terdengar “alami”, seperti suara angin, hujan, atau kicauan burung.
Awal Mula Heboh: Klaim Hak Cipta dari Suara Alam
Kisah ini mencuat dari sejumlah unggahan kreator di media sosial dan forum diskusi. Salah satunya adalah Dika, seorang pembuat video traveling yang kaget ketika videonya ditandai pelanggaran hak cipta di platform berbagi video. Padahal, suara burung dalam videonya direkam langsung saat ia berada di kawasan wisata alam di Bogor.
“Awalnya saya pikir sistem salah baca. Tapi setelah saya cek, ternyata memang ada audio yang dipatenkan berisi suara burung, dan algoritma membaca itu sebagai milik orang lain,” ujar Dika saat dihubungi.
Kasus ini ternyata bukan satu-satunya. Beberapa kreator lain juga melaporkan hal serupa. Dalam banyak kasus, suara burung yang digunakan berasal dari perpustakaan audio online, di mana file tersebut memang dilindungi hak cipta oleh penciptanya – biasanya seorang sound designer atau field recorder profesional.
Bukan Burungnya, Tapi Rekamannya
Pakar hukum kekayaan intelektual, Prof. Dr. Indah Prameswari, menegaskan bahwa publik tidak perlu panik berlebihan. Menurutnya, yang dikenai hak cipta bukanlah suara burung secara umum, melainkan rekaman spesifik milik seseorang.
“Yang dilindungi hukum bukan suara burung sebagai makhluk hidup. Tapi jika seseorang merekam suara burung, mengedit, dan menerbitkannya di platform digital – maka rekaman itulah yang punya nilai cipta,” jelas Indah.
Ia menambahkan, hukum cipta tidak melihat dari sumber suara, tapi dari usaha kreatif dan teknis dalam menghasilkan suatu karya. “Sama halnya seperti foto langit atau ombak. Alamnya bebas, tapi hasil fotonya bisa dimiliki,” tambahnya.
Konten Kreator Harus Makin Melek Lisensi
Kasus ini menjadi pengingat bahwa para pembuat konten harus lebih teliti dalam menggunakan audio atau elemen dari internet. Konten kreator kini harus lebih teliti dalam menggunakan audio dari internet. Banyak yang masih sembarangan mengunduh suara dari YouTube, TikTok, atau situs gratis tanpa mengecek lisensinya. Platform seperti musicpromote bahkan mulai menyediakan audio bebas royalti yang bisa diunduh secara legal, namun tetap sering disalahgunakan ketika diunggah ulang ke situs lain tanpa izin.
Di sisi lain, ada juga perpustakaan suara berbayar seperti Epidemic Sound, Artlist, dan PremiumBeat yang menyediakan efek suara alam – termasuk kicauan burung – dengan lisensi tertentu. Jika digunakan sesuai ketentuan, pengguna tidak akan terkena klaim apa pun.
Namun ketika rekaman berlisensi ini diunggah ulang oleh pihak ketiga ke situs lain tanpa izin, dan kemudian digunakan kembali secara sembarangan, di sinilah potensi masalah hukum muncul.
Peran AI dan Algoritma Deteksi Otomatis
Banyak platform digital kini menggunakan sistem pendeteksi otomatis berbasis AI untuk mengidentifikasi potensi pelanggaran hak cipta. Sistem ini menganalisis suara dari video yang diunggah, lalu mencocokkannya dengan database rekaman yang sudah terdaftar hak ciptanya.
“Teknologinya sangat sensitif. Bahkan suara jangkrik, langkah kaki, hingga gesekan daun pun bisa terbaca jika sudah terekam dan terdaftar dalam sistem,” ujar William Tanuwijaya, pakar teknologi dari Indonesia Tech Forum.
Namun kelemahan dari sistem ini adalah kurangnya konteks. AI tidak bisa membedakan antara rekaman yang diambil langsung oleh kreator dan yang disalin dari file berlisensi, jika bentuk suaranya sangat mirip. Inilah sebabnya beberapa pengguna yang merekam sendiri pun bisa kena deteksi palsu (false claim).
Bagaimana Menghindarinya?
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan kreator agar terhindar dari klaim hak cipta tidak perlu:
-
Rekam sendiri suara alam jika memungkinkan.
-
Gunakan audio dari situs yang jelas lisensinya, dan pastikan ada izin penggunaan komersial.
-
Simpan bukti lisensi atau sumber audio yang digunakan.
-
Gunakan fitur “dispute” atau banding jika kamu merasa diklaim secara tidak sah.
Fenomena Baru di Dunia Digital
Kasus ini menunjukkan bahwa batas antara karya cipta dan elemen alami makin kabur di era digital. Apa yang dulu dianggap gratis dan bebas pakai, kini bisa menjadi bagian dari industri besar bernama ekonomi kreatif.
“Ini bukan tentang burung atau hujan. Ini tentang siapa yang merekam, siapa yang mempublikasikan, dan bagaimana karya itu diperlakukan dalam ekosistem digital,” tutup Prof. Indah.
Maka dari itu, setiap kreator, musisi, bahkan pemilik akun media sosial, harus makin cerdas dalam memahami hak cipta. Bukan hanya untuk menghindari masalah hukum, tapi juga untuk menghargai kerja keras para pembuat karya asli – bahkan jika itu hanya berupa suara burung di pagi hari.